Hidupku dalam Mencintaimu


Rasanya sinar matamu semakin meredup setiap kali engkau membukakan pintu bagiku yang kepulangannya bisa diitung jari dalam enam bulan.

Tapi rutinitasmu selalu sama. Menyambutku dengan senyum dan mesra, mendudukkanku di sofa ruang keluarga kita, membasuh kakiku dengan handuk panas, lalu menyediakan segelas teh pahit yang kental. Kau akan duduk di sebelahku, memandangku seakan akulah makhluk paling berharga di dunia ini, lalu mengecup keningku dengan seluruh kerinduan yang kau pendam.

Melihatmu, terkadang aku berfikir, bukankah aku makhluk paling nista di dunia ini? Menyia-nyiakan istri sebaik dan sesempurna dirimu… Memberimu waktu dan perhatian yang nyaris tak akan pernah mencukupi.... sedangkan kau masihlah wanita yang butuh disayangi. Aku tahu aku kejam karena tak membiarkanmu pergi dari sisiku untuk mencapai kebahagiaan yang lain. Akulah monster yang memerangkap dan menghabiskan hidupmu dalam penantian. Akulah sumber penderitaanmu.

Sungguh ingin kunyatakan semua itu.

Tapi setiap kali kata-kata itu terlepas, aku bisa melihat kobar amarah dalam matamu, diantara tawa penuh tak percayamu. Kau akan menyipitkan mata besar yang lentik itu, dan aku bisa merasakan hawa dingin darimu menusuk hingga ke organ dalamku.

“Bahagia? Kamu tidak yakin aku bahagia denganmu selama ini, mas?” kau tertawa getir dan pedih. “Bagaimana kau bisa membahagiakan aku sih, kalau kau sendiri tidak yakin, mas?” kau tidak akan marah dan membentak, namun dingin itu memancar di setiap lekuk tubuhmu.

Kau istri yang tak pernah menuntut dan mengomel, tapi mungkin aku lebih memilih kau begitu daripada diam dan memunggungiku. Rasanya seperti ditinggal mati oleh segala jenis suara tawa di dunia ini.

Entah bagaimana, seperti sebuah misteri yang selalu gagal kuungkap, kau selalu bisa memaafkanku dengan begitu mudah keesokan paginya. Seperti selalunya, kau akan mencium pipiku dengan hangat dan menyajikan secangkir kopi hitam yang mengepul di sisi tempat tidur kita. Kau akan bertanya jenis sarapan apa yang kuinginkan dalam balutan lingerie seksi berlapis celemek. Kau selalu tahu bagaimana caranya membuatku bangun di pagi hari dan langsung berdebar lagi.

Itu sebabnya aku nyaris tak pernah bisa melepasmu dengan mudah setiap kali ‘telfon khusus’ itu berdering. Karena artinya, tugas datang dan aku harus meninggalkanmu, lagi. Karena artinya, akan ada malam-malam dingin dan panjang saat kau menanti di rumah, memandangi lekukan kasur tempatku biasa berbaring, mungkin berlinang air mata dan bertanya-tanya apakah aku masih bernafas atau tidak.

Percayalah, sakit yang bergejolak itu juga aku rasakan dalam intensitas yang mungkin tak dapat kau bayangkan.

Itu sebabnya kekasihku, pasangan hidupku, pengisi hatiku, dan istriku yang begitu sempurna…bukanlah hal berat bagiku untuk memaafkan perselingkuhanmu.

Kita tahu apa arti kata ‘setia’ dan sejauh apa definisinya diantara kita berdua. Kamu tahu dalam sesuatu yang kusebut ‘kewajiban tugas’ aku telah meniduri banyak dari kaummu dan kau tetap percaya aku tak pernah melakukannya dengan hati. Kau selalu menyambutku dengan terbuka, kehilangan sinar dalam bola mata saat mendengar pengakuanku, namun selalu menjadi dewi seks yang sempurna seakan-akan sakit hatimu tak pernah ada.

Dan aku mengerti pribadi seperti apa dirimu, sayangku. Kamu adalah air dalam yang menikmati sensasi mengalir melawan hukum arus. Kamu melarutkan dan menerima semua unsur kealpaan manusia serta kekecewaanmu dan menjadikannya seakan netral. Kamu hidup karena kamu tahu di matamu dunia ini berbeda. Kamu bernafas karena masih menemukan ambisi dan adrenalin di darahmu.

Memilihku dengan alasan ‘hidup akan seru bersamamu’. Menyanggupi menyandang beban dengan alasan ‘aku tahu aku bisa untuk itu’. Kesedihan dan pengalaman yang menurutmu sebagai cambuk pelajaran. Kau seperti pengidap schizophrenia yang kecanduan adrenalin, sayang. Itu sebabnya saat aku tak bisa lagi menyuntikkannya dalam kehidupanmu, kau harus mencari donor lain agar tetap bisa bertahan hidup.

Aku memandangi namun berpura-pura tak mengetahui saat kau dengan frustasi memandangi alat tes kehamilan yang belum juga menunjukkan bukti perubahan. Aku mengetahui namun bersembunyi saat kau menangis dengan handphone yang tak jadi digunakan di genggaman. Keadaanku menjauhkanmu dari orang-orang terkasihmu. Sedikit jalur komunikasi dan nyawa kita terancam. Namun aku tahu kau sesungguhnya selalu butuh mendengar suara dan dukungan keluarga dan teman-temanmu yang tak bisa kau hubungi.

Aku tahu.

Aku sungguh mencintaimu hingga aku benar-benar tahu.

Itu sebabnya, aku bisa mengatakan ini sungguh melegakan sayangku. Aku memang mengatakan bahwa ini adalah saat yang kutunggu-tunggu sejak dulu. Bahwa kaulah yang akhirnya memutuskan untuk meninggalkanku, untuk pergi dariku, dan memintaku pergi. Karena sungguh, walaupun aku bisa berbohong begitu sempurna untuk banyak hal, namun kau adalah kealpaan terindahku. Aku tak akan bisa meninggalkanmu atau memintamu pergi. Aku tak akan bisa. Aku akan hancur berkeping-keping.

Itu sebabnya, terima kasih.

Bukan karena aku tidak mencintaimu dan sungguh berharap kau akan pergi. Bukan karena aku bisa dengan mudah memilih wanita lain karena sungguh tak ada wanita sesempurna dirimu di dunia ini, cinta sejatiku. Aku ingin membahagiakanmu, sesederhana itu hingga bisa melepaskanmu, wanita tak tergantikan, dan setengah mati menahan diri untuk tidak menembak mati lelaki beruntung yang mendapatkanmu nanti.

Cintaku…

Kekasihku…

Biarlah kata-kata terakhirmu aku anggap sebagai peneguh diri. Biarlah kata-kata terakhir itu aku percayai dan aku simpan hingga mati. Aku tahu, sangat tahu, kau jujur saat mengatakannya, bahwa, "Aku meninggalkanmu bukan karena aku tak lagi mencintaimu, tapi karena hidup mulai terasa tak mudah bersamamu. Dan aku bersamanya bukan karena aku mencintainya melebihi dirimu, tapi karena hidup terasa lebih mudah bersamanya…"

Sesederhana Itu


“Aku rasa kita udah nggak bisa pacaran lagi…”

Apa ya? Bukan kaget atau bahkan sakit hati yang memenuhi rongga hati Fersha saat mendengar Rakha mengucapkan kalimat itu. Tentu saja Fersha sangat menyayangi Rakha, itu sebabnya kelegaan yang mengaliri darahnya sekarang terasa tidak pas. Mungkin, batinnya dalam kekosongan, ia sudah lama menduga—karena instingnya—dan nyaris menunggu hal ini pada akhirnya akan terjadi.

Rakha memutuskannya.

Itu realita yang tidak bisa dibantah. Tapi cowok yang selalu mengatakan pemikirannya dengan tegas dan jelas itu kini mengucapkan sebuah kalimat berpengaruh tanpa didukung alasan ataupun tekad dalam suaranya. Rakha ragu. Bukan ini yang Rakha inginkan. Sesuatu yang seperti ini pastilah bukan ide Rakha. Memutuskan orang yang sampai minggu kemarin masih ia cintai sebegitu dalamnya seperti bukan Rakha banget.

Fersha tahu ia kedengaran seperti ‘tidak ikhlas’ atau ‘tidak mau menerima kenyataan’. Bukan itu. Mereka sudah 3 tahun bersama, Fersha terlalu mengenal Rakha untuk bisa menipu dirinya dan insting kewanitaannya bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

Sesuatu yang membuat Rakha terpaksa memutuskannya.

“Tidak usah dijelaskan…” akhirnya Fersha berbicara. Nada yang tidak lirih ataupun putus asa. “Aku mengerti.” Ia bahkan mengangkat matanya dan menatap bola mata Rakha yang berkaca-kaca. Lelaki yang tidak pernah menangis seumur hidupnya itu, tengah menahan tangis.

Rakha menunduk. Gerakan yang bagi Fersha seakan ingin menelan semua yang ingin dia ucapkan, yang ingin ia utarakan. Rakha yang kepercayaan dirinya sering terlalu tinggi hingga menyebalkan, lelaki yang tidak mau mengenal kekalahan, dan orang terarogan yang pernah Fersha temui, menunduk seakan baru saja mengalami kekalahan terpayah.

“Terima kasih…” lirih Rakha.

Fersha tidak mengatakan apapun sebagai balasannya. Tanpa bersuara, ia berbalik dan berjalan menuju mobil yang ia parkirkan di sisi taman kota ini. Ia merasa kosong melompong dan ringan. Mungkin ia akan menangis sekeras-kerasnya saat tiba di apartemennya nanti. Tapi tidak sekarang. Fersha tahu, sekali lagi hanya bermodalkan insting, bahwa Rakha membutuhkan ketegaran darinya.

Sekalipun ketegaran itu berupa kepalsuan yang payah.

* * *

“Sha… Rakha meninggal…”

Diantara sedu sedan ibu Rakha, Fersha mendengar lolongan adik perempuan Rakha dari handphonenya. Apa ya? Fersha mungkin seharusnya menunjukan sikap normal dan ikut menangis juga barangkali? Tapi logikanya menutup hati dan memaksanya untuk berpikir dan menganalisa.

Meninggal bagaimana? Apa alasannya jelas? Apa penyebabnya sudah diketahui? Bagaimana dengan hasil autopsi? Apa ibu sudah melihat ‘dengan mata kepala sendiri’ jenazah Rakha? Namun yang paling penting, benarkah itu mayat Rakha?

Pertanyaan yang bertubi-tubi. Kehausan akan ingin mengetahui yang menyiksa. Tentu saja tidak sopan mengorek-ngorek begitu di saat ibu Rakha berbaik hati menelpon dirinya untuk memberi kabar, di saat ia sendiri tengah terguncang. Tapi ini terlalu aneh. Kematian yang terlalu aneh. Mati dengan cara seperti ini seperti bukan Rakha banget.

Fersha mematikan handphonenya dan membenamkan dirinya ke dalam sofa ruang tamunya. Mati? Semudah itukah lelaki setangguh Rakha mati?

* * *

“Kejadiannya tidak lebih dari 12 jam setelah terakhir kali bertemu saya?”

Dr. Sunanto, seorang ahli antropologi forensik yang juga sahabat sekaligus narasumber yang sering Fersha hubungi dalam tugasnya sebagai Kriminolog, mengangguk perlahan. Kehati-hatian serta rasa tidak nyaman menguar dari tubuhnya. Apa ada hubungannya dengan empati karena dialah petugas forensik yang mengumpulkan sisa-sisa tubuh Rakha?

Rasanya bukan itu…

“Kamu tidak membawa surat dari Mabes seperti biasanya ya? Ini bukan dalam rangka tugas ya?” selidik Sunanto. Kerutan di dahinya bertambah dua kali lipat daripada biasanya saat ia memicingkan mata curiga pada Fersha.

“Mereka menganggap kasus ini sudah selesai, dok.” Tukas Fersha dingin. “Bukti yang lengkap, pelaku—yang tidak memiliki hubungan dengan korban—seorang pengidap psiko berat yang setengah gila, dan saksi yang cukup.” Ia mengeluarkan tawa merdu yang terdengar kelam. “Aneh, ya? Motif pelaku dan buktinya sangat jelas sekali untuk kasus pembunuhan yang direncanakan.”

Sorot mata hati-hati Dr. Sunanto berubah menjadi iba. “Kamu hanya belum bisa mengikhlaskan kepergian Rakha, Sha…” lirih lelaki tua itu.

Saat itu rasanya seperti ada kobaran api sedingin es yang melahap tulang Fersha. Darahnya mengucur deras tanpa hambatan ke batang otaknya, mengakibatkan rasa panas luar biasa di sana. Ia berbalik dan menyambar setumpuk kertas dari dalam tasnya, lalu membantingnya di depan hidung Dr. Sunanto.

“Berapa banyak angka di atas cek yang bisa membeli anda, dok?” geramnya hilang kendali. “Mereka berkata Rakha ditembak dan wajahnya dipukuli hingga tidak dapat dikenali! Pelaku didakwa atas pembunuhan tingkat satu karena menembak dari jarak dekat dan sengaja membidik organ vital, sementara KAU TAHU tidak sejumputpun sisa mesiu yang ditemukan di mayat-entah-siapa itu!!”

Fersha menyaksikan pupil mata itu membesar.

Satu titik yang menunjukkan batu loncatan selanjutnya, bahwa memang ada yang tidak beres dalam semua rangkaian peristiwa ini.

“Saya mungkin bukan ahli balistik, dok.” Ia menurunkan tingkat oktaf suaranya dan memasang wajah depresi yang sarat dengan luka. “Tapi semua dowel (batang lurus kecil yang biasanya di pasangi laser untuk menentukan arah tembakan) menunjukkan bahwa sebelum mayat itu diseret ke TKP, seseorang ‘menyamarkan’ suasana dengan menembaki TKP dengan membabi buta, dan bukan membidik.”

Gelombang kemenangan mengalir di darah Fersha saat ia menyaksikan kegalauan di wajah Dr. Sunanto. Hanya tinggal sedikit lagi, ia bisa membauinya di udara.

“Apa yang sebenarnya terjadi, dok?” lirih Fersha. “Kenapa Rakha harus berpura-pura mati?”

* * *

Bau aroma kesedihan yang tidak Fersha sukai. Isak tangis menjadi latar suara tanah yang berjatuhan di atas peti mati yang diturunkan dengan hati-hati ke dalam lubang pemakaman. Kasihan, batin Fersha dingin. Siapapun dirinya, entah dosa apa yang membuatnya pantas mati dan dikuburkan dengan nama dan kiriman doa yang bukan miliknya.

Saat tanah sudah membukit, doa selesai dipanjatkan, dan tata cara pemakaman ala militer selesai, orang-orang yang sebagian besar merupakan sahabat Rakha dan dirinya mulai meninggalkan tempat itu. Nyaris seluruhnya berhenti untuk sekedar menguatkan dan mengucapkan bela sungkawa pada Fersha. Namun sekalipun ia mengangguk dalam khidmat, di dalamnya Fersha merasa kosong. Itu bukan Rakha, ia tidak pantas menerima semua ucapan ini untuk seseorang yang tidak ia kenal.

Itu sebabnya Fersha tidak juga bergerak bahkan setelah suasana sekitar begitu sepi. Terlalu banyak tanda tanya, terlalu banyak kata ‘kenapa’ di benaknya. Namun tiba-tiba seseorang meremas sayang bahu Fersha dari belakang. Ia menoleh dan menemukan ibu Rakha yang sedih, berduka, namun masih menunjukkan kekhawatiran akan Fersha di sana.

“Tante..” gumam Fersha sambil mengangguk. Apa ia harus mengucapkan kalimat penghiburan? Apa ia harus berpura-pura menguatkan? Lalu Fersha memandang dalam bola mata cokelat muda milik wanita separuh baya itu dan tertegun.

Ia memang berduka. Duka karena kehilangan. Tapi itu bukan kemarahan atau keterkejutan yang normalnya menjadi milik mereka yang anggota keluarganya direnggut dengan pembunuhan. Ibunda Rakha kehilangan, tapi ia sudah mengerti sejak lama. Ketabahan yang terlalu jelas.

Fersha menarik nafas dan menghembuskannya dengan lega. Rasanya ia kembali memijak tanah saat ini.

“Itu bukan dia.” Gumam Fersha pelan, mengerling ke arah gundukan tanah merah di dekat mereka. “Tante sudah tahu.”

Senyuman tipis yang begitu getir menghiasi bibirnya yang pucat. “Kamu juga.” Lirihnya pelan. “Dia tidak memberitahu, tentu saja. Tapi keterikatan yang terjalin diantara ibu dan anak adalah yang paling kuat yang pernah ada. Ia memang anggota penyidik yang hebat, tapi sebagai anak mustahil ia bisa mengelabui tante, ibunya.”

Tawa pahit bergetar di kerongkongan Fersha.

“Rakha patut menerima beberapa cubitan keras di pinggang untuk ini, tante.” Fersha mengucapkannya dengan rasa perih di tenggorokan yang menyiksa. Kenangan akan Rakha yang selalu memilih dicambuk daripada dicubit di bagian pinggang membanjiri benaknya. Rakha benar-benar tidak tahan geli di bagian itu. Hal yang justru sering kali memancing keisengan Fersha.

Fersha merasakan bola matanya memanas dan butir-butiran asin menetes di pipinya tanpa suara. “Apapun alasannya, ia tega menyakiti dan membohongi tante, juga saya. Ia patut mati beneran untuk itu.”

Diluar dugaan, ibu Rakha hanya menghela nafas berat. Wanita itu meraih tangan Fersha dan menggenggamnya perlahan.

“Rakha pasti sudah memikirkan semua ini baik-baik, Sha… Jika ia sanggup berkorban dengan membuang tante dan kamu yang sangat ia cintai, tentunya alasannya juga sebesar itu.” Lirihnya. “Ikhlaskan saja, Sha… Sakit memang, tapi tante tahu ini hanya wujud kasih sayang Rakha…”

Fersha ingin menangis, namun ia menelan semuanya dan mencoba tersenyum. Perlahan ia mengendurkan tangannya dari genggaman hangat ibunda Rakha dan merogoh dalam ke tas tangannya. Dari sana, Fersha mengeluarkan sebuah testpack yang menunjukkan dua goresan diatasnya.

“Saya tahu tante. Sejak dulu saya mengerti bahwa profesi Rakha membuat dirinya bukan jadi milik ia sendiri. Saya siap mencintai untuk ditinggalkan. Sejak dulu saja sadar. Saya sangat tahu itu.” Fersha menahan lirihan. “Tapi di saat saya berusaha melepaskannya, saya baru mengetahui bahwa saya…”

Keterkejutan melebarkan pupil bola mata cokelat milik ibu Rakha.

“Setidaknya dia tahu… itu saja tante… cukup itu saja…”

Fersha menyimpan kembali alat tes kehamilan itu dan beranjak tanpa kata, meninggalkan ibu Rakha yang menatap namun bukan memandang kosong ke langkah-langkah Fersha yang menjauh darinya.

Apa ini berat? Tentu saja berat mencintai seseorang yang sebenarnya sudah sejak dulu mati karena tidak memiliki kehidupannya sendiri seperti Rakha. Fersha tidak menyesal karena sudah mengerti konsekuensinya sejak dulu, bukan?

Fersha menghela nafas, melepaskan tawa kecil, dan mengelus pelan perut bagian bawahnya.

Iya, tidak perlu tenggelam dalam banyak penjelasan mengenai misteri kehidupan. Tidak butuh banyak kata kenapa dan mengapa. Bahkan tidak perlu repot-repot mencari penjelasan mengenai masa depan yang sangat tidak pasti itu.

Saat ini, Fersha hanya merasa berhutang untuk nyawa kecil yang tengah bertumbuh di dalam tubuhnya. Hutang mengenai kisah ‘sebenarnya’ dari jutaan potongan-potongan kisah yang melatar belakangi hidupnya.

Sungguh, hanya sesederhana itu.

Kosmetik, no!! Isi kulkas, Yes!!



Merawat wajah dengan kosmetik memang cara instan yang mudah. Selain gengsi bokh (lebih terdengar gaoolz menggunakan 'cli***ue' atau 'b**y s**p' daripada masker ampas santan atau irisan kulit kentang kan?), generasi kita juga lebih percaya akan larutan BAHAN KIMIA di dalam produk-produk seperti halnya diatas daripada intisari alam.

Padahal diriku yakin dari hati yang terdalam dikau-dikau pasti pernah memikirkan akibat dari kosmetik yang terlalu keras di kulit, alergi, hingga kerusakan wajah permanen akibat bahan kimia berbahaya. Nah lho? Ga ingin kan, kulit selembut pantat bayi (hueks) itu rusak karena 'jalan pintas' ini?



Ini sebabnya, Gals, diriku mengajak kalian semua untuk... AYO DONG, TINGGALKAN (setidaknya kurangilah) PRODUK YANG BERISI BAHAN KIMIA ITU DAN MANFAATKAN ISI KULKAS EMAK KALIAN!! Ikuti tren terbaru, go nature! go green!

Baiklah, dari hasil wara-wiri saya di lembaran buku, page-page blog orang, situs-situs kecantikan, dan masih banyak lagi, saya menemukan beberapa tips oke yang sudah dibuktikan keampuhannya (kejelekan wajah saya adalah murni human error, fyi. hahaha)...

1. Bersihkan bintik-bintik jerawat dengan mengusapkan tomat matang yang dibelah tengah atau dipotong menjadi dua ke wajah. Gunakan ampasnya sebagai masker.

2. Usir jerawat dengan parutan wortel (wortel merah lebih gud, btw). Biarkan masker wortel ini selama 15-20 menit hingga benar-benar kering, kemudian bersihkan dengan air mendidih (bercanda gan, air hangat maksudnya, tentu saja).

3. Nggak usah beli larutan kimia mengerikan untuk wajah! Cukup nyolong setengah butir kentang dari kulkas, cuci, iris tipis-tipis, dan tempelkan di jerawat yang 'bunting' pada wajah saat hendak tidur. Esok paginya, bilas dengan air dingin dan saksikanlah 'kemusnahan' jerawat anda!

4. Stop beli masker. Anda bisa membuat masker sendiri di rumah dengan memanfaatkan beberapa sendok gula yang ditetesi esensial oil (percayalah para brand-brand kosmetik itu juga menggunakan komposisi yang nyaris serupa).

5. Kecilkan pori-pori anda dengan rajin mengoleskan kapas berisi es batu setiap pagi.

6. Hemat uang bulanan dengan tidak melakukan kegiatan hair spa di salon. Colong 2 butir telur dari kulkas, ambil kuningnya saja, campur madu, minyak zaitun, dan esensial oil, lalu bungkus rambut selama 30 menit. Dapatkan rambut berkilau ala artis!

7. Hilangkan kantung mata dengan kantung teh (iya, anda ga salah baca, kantung teh!). Kompres selama 10 menit, dan dapatkan mata cerah kembali!

*ala iklan mode on* Nah, sekian dulu tips kecantikan hari ini, kita berjumpa lagi di tips-tips Guling selanjutnya! Semoga bermanfaat! Ciaaaooo...

Secara Logika, Mungkin Tidak


Aku menatap ke kegelapan yang menyelimutiku. Bayangan wajahmu masih tertempel di ingatanku seperti bentangan jaring labah-labah. Semakin aku mencoba untuk menariknya, aku malah mendapatinya makin menempel di dalam benakku. Bodohnya, aku berharap jika nafasku berhenti aku juga akan berhenti berfikir tentangmu.

‘Aku masih sayang kamu… Aneh, memang. Tapi rasa itu nggak berubah walau sudah lama sekali.’

Seharusnya kamu tidak berkata seperti itu. 3 tahun adalah waktu yang cukup untuk melupakan seseorang, terutama jika kita mustahil bertemu dengannya. Semua orang berkata waktu akan membantuku melupakanmu, tapi ternyata mereka salah.

Aku mendapati diriku masih sering bertemu denganmu di mimpiku, aku menyaksikan tubuhku mengkhianatiku dengan merindukan foto-fotomu, aku mendengar bahwa suaraku masih terdengar indah saat memanggil namamu. Diam-diam, begitu pelan hingga tak akan ada yang pernah tahu.

* * *

“Kita ‘kan nggak pernah putus…” gerutumu. aku dipaksa untuk tersenyum. Ternyata aku masih ingat nada suaramu saat kesal. “Ra, kalau kamu?”

“Aku nggak ingat.” Dustaku. “Itu kan udah 3 tahun yang lalu…” aku tak mungkin memberitahumu bahwa aku ingat. Bahwa selama tiga tahun aku sengaja tak berusah untuk menghubungimu. Kukira aku akan bertahan dan kau bisa saja melupakanku. Tapi aku tak pernah sepenuhnya benar.

“Tapi aku masih sayang kamu… Sampai saat ini.” Katamu, dengan nada seakan menegaskan bahwa ‘Langit itu biru… Masa gak tau?’. Aku berusaha menahan, namun senyuman penuh kegetiran itu terlanjur mengembang di wajahku.

“Aku juga masih, kok…” bahkan sebagian dari diriku terkejut. mengakui perasaan yang kuusahakan hilang selama 3 tahun tiba-tiba saja terdengar mudah. “Tapi nggak mungkin, kan? Kita bahkan sudah nggak ketemu selama 3 tahun… lebih…”

Aku berusaha mengingat kata-kata terakhir yang kuucapkan padamu.

“Aku tetap sayang sama kamu, tapi aku sadar kalau nggak mungkin kita nunggu selama itu… Makanya, aku nggak akan keberatan kamu jalan sama orang lain.” ini benar-benar isi hatiku, walau terkadang, di saat akan tidur dan berjumpa denganmu dalam mimpi, aku masih terheran-heran mengapa semudah itu rasanya melepasmu mencari tambatan hati lain.

Mungkin, aku berspekulasi, karena aku terlalu yakin kamu akan selalu menyisakan ruang hatimu yang terbesar untukku.

“Ya… Memang sih, Ra… Tapi rasanya tetap saja aneh. Soalnya setiap kali aku berusaha pacaran sama orang lain, tapi tetap aja nggak bisa… hambar… Dan aku akan kembali mikirin kamu lagi…”

Aku berusaha mengacuhkan kata-katamu. Sebagian dari diriku berusaha keras menganggapmu berbohong soal itu.

“Hahaha… Mungkin aku harus ngecek apa kemarin aku sempat ngutuk kamu atau nggak…” aku berhasil menertawaimu.

“Ra, aku kangen… Kamu sih, ngilang gitu aja! 3 tahun gak ada kabar!” kamu mulai mendumel lagi, membuatku diselipi rasa bersalah. “Tapi perasaanku nggak berubah, Ra… Aneh, ya??” lagi-lagi kamu bilang begitu. “Ra, sudahlah. Aku nggak mungkin bisa ngelupain kamu dan nyari yang lain. Aku sudah tahu itu sejak lama dan menyerah soal itu. Boleh kan, aku datang ke kamu?”

Aku terdiam.

Sungguh, bukannya saat itu aku tak ingin berjumpa denganmu.

Tapi mengertilah. Dalam keadaanku yang saat ini, aku tak mungkin bertemu denganmu, sebesar apapun aku menginginkannya.

“Aku mau ke tempatmu. Terserah kamunya mau atau nggak.”

Dari dulu aku memang menyesali kamu yang terlahir dengan kepala sekeras itu. jika memang aku tidak memiliki alas an yang demikian kuatnya, untuk apa aku menghindari bertemu dengan sebagian dari desah nafasku sendiri, kamu?

“Jangan ngebuka kotak Pandora, ah…” nah, jangan katakan aku tak pernah mengingatkanmu sebelumnya.

“Biar saja. Mau kotak Pandora, kek. Kotak ikan, kotak ice cream… Aku bisa mati kalau nggak melihatmu secepatnya!! Kamu ini kenapa sih??” dan kamu terdiam cukup lama. “Kamu… udah punya pacar lain? Orang yang kamu sayangi melebihi aku?”

“Itu hal terkonyol yang kudengar tahun ini. sepertinya lebih mungkin kalau Jim Carrey benar-benar jadi Tuhan…” gurauku, sengaja menyinggung film yang kita tonton saat kencan pertama kita itu.

“Hahahaha.. Kamu masih ingat film itu juga, ya?” tentu saja, bagaimana bisa lupa jika aku terus menerus mengulang semua memori tentangmu setiap nano detik dari hidupku? “Nanti kita nonton itu lagi ya…”

Lagi-lagi kamu membuat aku terdiam.

Sungguh, bukannya aku tak mau melewatkan waktu bersamamu.

Tapi, cintaku, kekasih hidupku, waktulah yang tak lagi berpihak padaku.

* * *

Riad meremas-remas jarinya dengan resah. Ia merasa konyol sekali. Mengapa dadanya harus berdetak secepat ini hanya karena akan mengetuk pintu kos-an putrid di hadapannya? Namun sejak ia menginjakkan kakinya di Dago tadi, dadanya sudah berdebar tak karuan.

Bagaimana rupa Lira sekarang? Ia pasti masih secantik dan seanggun dulu. Apa tubuhnya masih menguarkan wangi mawar yang segar, seperti yang selalu Riad ingat? Apa tawanya masih semerdu denting harpa seperti yang terakhir kali Riad dengar? Apa senyumannya masih secerah mentari? Apa dia masih suka berdebat dengan topik-topik yang menggelitik?

Apa dia akan mengomentari penampilan Riad yang sekarang? Apa Lira akan keberatan? Karena Riad sudah meninggalkan mode rambut cepak kesukaan Lira? Karena sekarang kulitnya cokelat karena ia sering berlari di bawah terik matahari? Karena saat ini ia tengah bekerja sebagai atlit daripada dokter, profesi yang awalnya ia pilih??

Namun Riad tahu itu semua tak akan terjadi.

Lira mencintai Riad karena Riad adalah Riad. Ia selalu memberitahu Riad bahwa Lira mencintai kejujuran Riad, cara Riad membuatnya tertawa, cara Riad tersenyum dan menatap saat Lira ada di hadapannya, dan cara Riad mencintai Lira.

Lira tak akan keberatan, karena semua hal yang membuat Lira mencintai Riad tak pernah berubah. Tak akan pernah berubah. Walaupun waktu terus menyelusup diantara mereka berdua.

Walaupun 3 tahun sudah membawa jaman bersamanya.

Rian berusaha menegur dirinya sendiri. Ia menegakkan bahunya dan melangkah masuk ke dalam pekarangan rumah kos-an yang ditunjuk menjadi alamat Lira saat ini.

“Aku datang…” bisik Riad, dipenuhi senyuman.

* * *

Aku tak akan menangis.

Karena aku tak bisa lagi menangis.

Karena air mataku sudah mengering, dan mataku sudah memutih.

Dan karena tiga tahun adalah waktu yang panjang untuk terus menangisimu.

Aku bisa membayangkan wajahmu. Aku bisa membayangkan apa yang akan kau katakan padaku. Aku bisa menebak apa yang akan kau teriakkan padaku. Aku bisa menebak berapa lama kau akan menangis dan membenci diriku.

Dan aku selalu tahu, sampai berapa lama sisa ruang yang paling besar di hatimu, bagian hatimu untukku, akan selalu ada bagiku.

* * *

“Siapa ya?”

Riad merasa bodoh karena mengharap bahwa Lira yang akan membuka pintu itu pertama kali. Tentu saja, ini kan rumah kos-an. Tidak heran jika orang lain yang membuka pintu untuk Riad. Tidak heran bila tidak ada yang mengenal Riad.

“Selamat pagi. Saya mencari Lira Hirania…”

Gadis yang membukakan pintu itu mengerutkan keningnya.

“Mas ini siapanya Lira?”

“Ehmm… temannya, dari Medan.” Riad mengutuki mengapa ia tak langsung mengatakan bahwa dia ini pacarnya.

“Mas nggak tahu, apa? Mbak Lira itu kan…” si gadis menghela nafas sesaat. “sudah meninggal dua tahun yang lalu?”

Riad merasa informasi ini mental dari otaknya.

“Apa?”

“iya. Mbak Lira sakit, kanker usus. Mbak Lira dimakamkan di tanah ibunya, agak dekat sini, kok. Mas belum tahu??”

“Nggak mungkin!! Baru kemarin dia menelfon saya!” Riad mengeluarkan handphone-nya, berusaha menunjukkan bukti bahwa ia dan Lira memang menjalin komunikasi. Berusaha membuktikan bahwa mustahil Lira telah meninggal.

Namun dunia runtuh di hadapan Riad saat ia menyadari bahwa tak ada data apapun yang menunjukkan bahwa ia dan Lira pernah menjalin komunikasi.

Yang hilang hanyalah data Lira. Data itu bagaikan memang tak pernah ada sebelumnya. Sama sekali tak berbekas.

“Tidak mungkin… Ini sama sekali tidak masuk akal!!!”

* * *

Maafkan aku.

Tak ada yang bisa menjelaskan padamu, bahkan padaku, bagaimana kita bisa berbicara satu sama lain, sementara kau bernafas, hidup, dan hangat disana, dan aku disini, hampir berupa tulang belulang.

Percayakah kamu bahwa cinta memang bisa menembus dan mewujudkan hal-hal yang mustahil terjadi? Percayakah kamu bahwa pembicaraan kita selama dua minggu ini memang tak nyata, secara logika?

Aku menatap ke kegelapan yang menyelimutiku, sahabat sejati untuk rentang waktu yang begitu lama.

Aku merindukanmu, Sungguh.