Sesederhana Itu


“Aku rasa kita udah nggak bisa pacaran lagi…”

Apa ya? Bukan kaget atau bahkan sakit hati yang memenuhi rongga hati Fersha saat mendengar Rakha mengucapkan kalimat itu. Tentu saja Fersha sangat menyayangi Rakha, itu sebabnya kelegaan yang mengaliri darahnya sekarang terasa tidak pas. Mungkin, batinnya dalam kekosongan, ia sudah lama menduga—karena instingnya—dan nyaris menunggu hal ini pada akhirnya akan terjadi.

Rakha memutuskannya.

Itu realita yang tidak bisa dibantah. Tapi cowok yang selalu mengatakan pemikirannya dengan tegas dan jelas itu kini mengucapkan sebuah kalimat berpengaruh tanpa didukung alasan ataupun tekad dalam suaranya. Rakha ragu. Bukan ini yang Rakha inginkan. Sesuatu yang seperti ini pastilah bukan ide Rakha. Memutuskan orang yang sampai minggu kemarin masih ia cintai sebegitu dalamnya seperti bukan Rakha banget.

Fersha tahu ia kedengaran seperti ‘tidak ikhlas’ atau ‘tidak mau menerima kenyataan’. Bukan itu. Mereka sudah 3 tahun bersama, Fersha terlalu mengenal Rakha untuk bisa menipu dirinya dan insting kewanitaannya bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

Sesuatu yang membuat Rakha terpaksa memutuskannya.

“Tidak usah dijelaskan…” akhirnya Fersha berbicara. Nada yang tidak lirih ataupun putus asa. “Aku mengerti.” Ia bahkan mengangkat matanya dan menatap bola mata Rakha yang berkaca-kaca. Lelaki yang tidak pernah menangis seumur hidupnya itu, tengah menahan tangis.

Rakha menunduk. Gerakan yang bagi Fersha seakan ingin menelan semua yang ingin dia ucapkan, yang ingin ia utarakan. Rakha yang kepercayaan dirinya sering terlalu tinggi hingga menyebalkan, lelaki yang tidak mau mengenal kekalahan, dan orang terarogan yang pernah Fersha temui, menunduk seakan baru saja mengalami kekalahan terpayah.

“Terima kasih…” lirih Rakha.

Fersha tidak mengatakan apapun sebagai balasannya. Tanpa bersuara, ia berbalik dan berjalan menuju mobil yang ia parkirkan di sisi taman kota ini. Ia merasa kosong melompong dan ringan. Mungkin ia akan menangis sekeras-kerasnya saat tiba di apartemennya nanti. Tapi tidak sekarang. Fersha tahu, sekali lagi hanya bermodalkan insting, bahwa Rakha membutuhkan ketegaran darinya.

Sekalipun ketegaran itu berupa kepalsuan yang payah.

* * *

“Sha… Rakha meninggal…”

Diantara sedu sedan ibu Rakha, Fersha mendengar lolongan adik perempuan Rakha dari handphonenya. Apa ya? Fersha mungkin seharusnya menunjukan sikap normal dan ikut menangis juga barangkali? Tapi logikanya menutup hati dan memaksanya untuk berpikir dan menganalisa.

Meninggal bagaimana? Apa alasannya jelas? Apa penyebabnya sudah diketahui? Bagaimana dengan hasil autopsi? Apa ibu sudah melihat ‘dengan mata kepala sendiri’ jenazah Rakha? Namun yang paling penting, benarkah itu mayat Rakha?

Pertanyaan yang bertubi-tubi. Kehausan akan ingin mengetahui yang menyiksa. Tentu saja tidak sopan mengorek-ngorek begitu di saat ibu Rakha berbaik hati menelpon dirinya untuk memberi kabar, di saat ia sendiri tengah terguncang. Tapi ini terlalu aneh. Kematian yang terlalu aneh. Mati dengan cara seperti ini seperti bukan Rakha banget.

Fersha mematikan handphonenya dan membenamkan dirinya ke dalam sofa ruang tamunya. Mati? Semudah itukah lelaki setangguh Rakha mati?

* * *

“Kejadiannya tidak lebih dari 12 jam setelah terakhir kali bertemu saya?”

Dr. Sunanto, seorang ahli antropologi forensik yang juga sahabat sekaligus narasumber yang sering Fersha hubungi dalam tugasnya sebagai Kriminolog, mengangguk perlahan. Kehati-hatian serta rasa tidak nyaman menguar dari tubuhnya. Apa ada hubungannya dengan empati karena dialah petugas forensik yang mengumpulkan sisa-sisa tubuh Rakha?

Rasanya bukan itu…

“Kamu tidak membawa surat dari Mabes seperti biasanya ya? Ini bukan dalam rangka tugas ya?” selidik Sunanto. Kerutan di dahinya bertambah dua kali lipat daripada biasanya saat ia memicingkan mata curiga pada Fersha.

“Mereka menganggap kasus ini sudah selesai, dok.” Tukas Fersha dingin. “Bukti yang lengkap, pelaku—yang tidak memiliki hubungan dengan korban—seorang pengidap psiko berat yang setengah gila, dan saksi yang cukup.” Ia mengeluarkan tawa merdu yang terdengar kelam. “Aneh, ya? Motif pelaku dan buktinya sangat jelas sekali untuk kasus pembunuhan yang direncanakan.”

Sorot mata hati-hati Dr. Sunanto berubah menjadi iba. “Kamu hanya belum bisa mengikhlaskan kepergian Rakha, Sha…” lirih lelaki tua itu.

Saat itu rasanya seperti ada kobaran api sedingin es yang melahap tulang Fersha. Darahnya mengucur deras tanpa hambatan ke batang otaknya, mengakibatkan rasa panas luar biasa di sana. Ia berbalik dan menyambar setumpuk kertas dari dalam tasnya, lalu membantingnya di depan hidung Dr. Sunanto.

“Berapa banyak angka di atas cek yang bisa membeli anda, dok?” geramnya hilang kendali. “Mereka berkata Rakha ditembak dan wajahnya dipukuli hingga tidak dapat dikenali! Pelaku didakwa atas pembunuhan tingkat satu karena menembak dari jarak dekat dan sengaja membidik organ vital, sementara KAU TAHU tidak sejumputpun sisa mesiu yang ditemukan di mayat-entah-siapa itu!!”

Fersha menyaksikan pupil mata itu membesar.

Satu titik yang menunjukkan batu loncatan selanjutnya, bahwa memang ada yang tidak beres dalam semua rangkaian peristiwa ini.

“Saya mungkin bukan ahli balistik, dok.” Ia menurunkan tingkat oktaf suaranya dan memasang wajah depresi yang sarat dengan luka. “Tapi semua dowel (batang lurus kecil yang biasanya di pasangi laser untuk menentukan arah tembakan) menunjukkan bahwa sebelum mayat itu diseret ke TKP, seseorang ‘menyamarkan’ suasana dengan menembaki TKP dengan membabi buta, dan bukan membidik.”

Gelombang kemenangan mengalir di darah Fersha saat ia menyaksikan kegalauan di wajah Dr. Sunanto. Hanya tinggal sedikit lagi, ia bisa membauinya di udara.

“Apa yang sebenarnya terjadi, dok?” lirih Fersha. “Kenapa Rakha harus berpura-pura mati?”

* * *

Bau aroma kesedihan yang tidak Fersha sukai. Isak tangis menjadi latar suara tanah yang berjatuhan di atas peti mati yang diturunkan dengan hati-hati ke dalam lubang pemakaman. Kasihan, batin Fersha dingin. Siapapun dirinya, entah dosa apa yang membuatnya pantas mati dan dikuburkan dengan nama dan kiriman doa yang bukan miliknya.

Saat tanah sudah membukit, doa selesai dipanjatkan, dan tata cara pemakaman ala militer selesai, orang-orang yang sebagian besar merupakan sahabat Rakha dan dirinya mulai meninggalkan tempat itu. Nyaris seluruhnya berhenti untuk sekedar menguatkan dan mengucapkan bela sungkawa pada Fersha. Namun sekalipun ia mengangguk dalam khidmat, di dalamnya Fersha merasa kosong. Itu bukan Rakha, ia tidak pantas menerima semua ucapan ini untuk seseorang yang tidak ia kenal.

Itu sebabnya Fersha tidak juga bergerak bahkan setelah suasana sekitar begitu sepi. Terlalu banyak tanda tanya, terlalu banyak kata ‘kenapa’ di benaknya. Namun tiba-tiba seseorang meremas sayang bahu Fersha dari belakang. Ia menoleh dan menemukan ibu Rakha yang sedih, berduka, namun masih menunjukkan kekhawatiran akan Fersha di sana.

“Tante..” gumam Fersha sambil mengangguk. Apa ia harus mengucapkan kalimat penghiburan? Apa ia harus berpura-pura menguatkan? Lalu Fersha memandang dalam bola mata cokelat muda milik wanita separuh baya itu dan tertegun.

Ia memang berduka. Duka karena kehilangan. Tapi itu bukan kemarahan atau keterkejutan yang normalnya menjadi milik mereka yang anggota keluarganya direnggut dengan pembunuhan. Ibunda Rakha kehilangan, tapi ia sudah mengerti sejak lama. Ketabahan yang terlalu jelas.

Fersha menarik nafas dan menghembuskannya dengan lega. Rasanya ia kembali memijak tanah saat ini.

“Itu bukan dia.” Gumam Fersha pelan, mengerling ke arah gundukan tanah merah di dekat mereka. “Tante sudah tahu.”

Senyuman tipis yang begitu getir menghiasi bibirnya yang pucat. “Kamu juga.” Lirihnya pelan. “Dia tidak memberitahu, tentu saja. Tapi keterikatan yang terjalin diantara ibu dan anak adalah yang paling kuat yang pernah ada. Ia memang anggota penyidik yang hebat, tapi sebagai anak mustahil ia bisa mengelabui tante, ibunya.”

Tawa pahit bergetar di kerongkongan Fersha.

“Rakha patut menerima beberapa cubitan keras di pinggang untuk ini, tante.” Fersha mengucapkannya dengan rasa perih di tenggorokan yang menyiksa. Kenangan akan Rakha yang selalu memilih dicambuk daripada dicubit di bagian pinggang membanjiri benaknya. Rakha benar-benar tidak tahan geli di bagian itu. Hal yang justru sering kali memancing keisengan Fersha.

Fersha merasakan bola matanya memanas dan butir-butiran asin menetes di pipinya tanpa suara. “Apapun alasannya, ia tega menyakiti dan membohongi tante, juga saya. Ia patut mati beneran untuk itu.”

Diluar dugaan, ibu Rakha hanya menghela nafas berat. Wanita itu meraih tangan Fersha dan menggenggamnya perlahan.

“Rakha pasti sudah memikirkan semua ini baik-baik, Sha… Jika ia sanggup berkorban dengan membuang tante dan kamu yang sangat ia cintai, tentunya alasannya juga sebesar itu.” Lirihnya. “Ikhlaskan saja, Sha… Sakit memang, tapi tante tahu ini hanya wujud kasih sayang Rakha…”

Fersha ingin menangis, namun ia menelan semuanya dan mencoba tersenyum. Perlahan ia mengendurkan tangannya dari genggaman hangat ibunda Rakha dan merogoh dalam ke tas tangannya. Dari sana, Fersha mengeluarkan sebuah testpack yang menunjukkan dua goresan diatasnya.

“Saya tahu tante. Sejak dulu saya mengerti bahwa profesi Rakha membuat dirinya bukan jadi milik ia sendiri. Saya siap mencintai untuk ditinggalkan. Sejak dulu saja sadar. Saya sangat tahu itu.” Fersha menahan lirihan. “Tapi di saat saya berusaha melepaskannya, saya baru mengetahui bahwa saya…”

Keterkejutan melebarkan pupil bola mata cokelat milik ibu Rakha.

“Setidaknya dia tahu… itu saja tante… cukup itu saja…”

Fersha menyimpan kembali alat tes kehamilan itu dan beranjak tanpa kata, meninggalkan ibu Rakha yang menatap namun bukan memandang kosong ke langkah-langkah Fersha yang menjauh darinya.

Apa ini berat? Tentu saja berat mencintai seseorang yang sebenarnya sudah sejak dulu mati karena tidak memiliki kehidupannya sendiri seperti Rakha. Fersha tidak menyesal karena sudah mengerti konsekuensinya sejak dulu, bukan?

Fersha menghela nafas, melepaskan tawa kecil, dan mengelus pelan perut bagian bawahnya.

Iya, tidak perlu tenggelam dalam banyak penjelasan mengenai misteri kehidupan. Tidak butuh banyak kata kenapa dan mengapa. Bahkan tidak perlu repot-repot mencari penjelasan mengenai masa depan yang sangat tidak pasti itu.

Saat ini, Fersha hanya merasa berhutang untuk nyawa kecil yang tengah bertumbuh di dalam tubuhnya. Hutang mengenai kisah ‘sebenarnya’ dari jutaan potongan-potongan kisah yang melatar belakangi hidupnya.

Sungguh, hanya sesederhana itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar