Secara Logika, Mungkin Tidak


Aku menatap ke kegelapan yang menyelimutiku. Bayangan wajahmu masih tertempel di ingatanku seperti bentangan jaring labah-labah. Semakin aku mencoba untuk menariknya, aku malah mendapatinya makin menempel di dalam benakku. Bodohnya, aku berharap jika nafasku berhenti aku juga akan berhenti berfikir tentangmu.

‘Aku masih sayang kamu… Aneh, memang. Tapi rasa itu nggak berubah walau sudah lama sekali.’

Seharusnya kamu tidak berkata seperti itu. 3 tahun adalah waktu yang cukup untuk melupakan seseorang, terutama jika kita mustahil bertemu dengannya. Semua orang berkata waktu akan membantuku melupakanmu, tapi ternyata mereka salah.

Aku mendapati diriku masih sering bertemu denganmu di mimpiku, aku menyaksikan tubuhku mengkhianatiku dengan merindukan foto-fotomu, aku mendengar bahwa suaraku masih terdengar indah saat memanggil namamu. Diam-diam, begitu pelan hingga tak akan ada yang pernah tahu.

* * *

“Kita ‘kan nggak pernah putus…” gerutumu. aku dipaksa untuk tersenyum. Ternyata aku masih ingat nada suaramu saat kesal. “Ra, kalau kamu?”

“Aku nggak ingat.” Dustaku. “Itu kan udah 3 tahun yang lalu…” aku tak mungkin memberitahumu bahwa aku ingat. Bahwa selama tiga tahun aku sengaja tak berusah untuk menghubungimu. Kukira aku akan bertahan dan kau bisa saja melupakanku. Tapi aku tak pernah sepenuhnya benar.

“Tapi aku masih sayang kamu… Sampai saat ini.” Katamu, dengan nada seakan menegaskan bahwa ‘Langit itu biru… Masa gak tau?’. Aku berusaha menahan, namun senyuman penuh kegetiran itu terlanjur mengembang di wajahku.

“Aku juga masih, kok…” bahkan sebagian dari diriku terkejut. mengakui perasaan yang kuusahakan hilang selama 3 tahun tiba-tiba saja terdengar mudah. “Tapi nggak mungkin, kan? Kita bahkan sudah nggak ketemu selama 3 tahun… lebih…”

Aku berusaha mengingat kata-kata terakhir yang kuucapkan padamu.

“Aku tetap sayang sama kamu, tapi aku sadar kalau nggak mungkin kita nunggu selama itu… Makanya, aku nggak akan keberatan kamu jalan sama orang lain.” ini benar-benar isi hatiku, walau terkadang, di saat akan tidur dan berjumpa denganmu dalam mimpi, aku masih terheran-heran mengapa semudah itu rasanya melepasmu mencari tambatan hati lain.

Mungkin, aku berspekulasi, karena aku terlalu yakin kamu akan selalu menyisakan ruang hatimu yang terbesar untukku.

“Ya… Memang sih, Ra… Tapi rasanya tetap saja aneh. Soalnya setiap kali aku berusaha pacaran sama orang lain, tapi tetap aja nggak bisa… hambar… Dan aku akan kembali mikirin kamu lagi…”

Aku berusaha mengacuhkan kata-katamu. Sebagian dari diriku berusaha keras menganggapmu berbohong soal itu.

“Hahaha… Mungkin aku harus ngecek apa kemarin aku sempat ngutuk kamu atau nggak…” aku berhasil menertawaimu.

“Ra, aku kangen… Kamu sih, ngilang gitu aja! 3 tahun gak ada kabar!” kamu mulai mendumel lagi, membuatku diselipi rasa bersalah. “Tapi perasaanku nggak berubah, Ra… Aneh, ya??” lagi-lagi kamu bilang begitu. “Ra, sudahlah. Aku nggak mungkin bisa ngelupain kamu dan nyari yang lain. Aku sudah tahu itu sejak lama dan menyerah soal itu. Boleh kan, aku datang ke kamu?”

Aku terdiam.

Sungguh, bukannya saat itu aku tak ingin berjumpa denganmu.

Tapi mengertilah. Dalam keadaanku yang saat ini, aku tak mungkin bertemu denganmu, sebesar apapun aku menginginkannya.

“Aku mau ke tempatmu. Terserah kamunya mau atau nggak.”

Dari dulu aku memang menyesali kamu yang terlahir dengan kepala sekeras itu. jika memang aku tidak memiliki alas an yang demikian kuatnya, untuk apa aku menghindari bertemu dengan sebagian dari desah nafasku sendiri, kamu?

“Jangan ngebuka kotak Pandora, ah…” nah, jangan katakan aku tak pernah mengingatkanmu sebelumnya.

“Biar saja. Mau kotak Pandora, kek. Kotak ikan, kotak ice cream… Aku bisa mati kalau nggak melihatmu secepatnya!! Kamu ini kenapa sih??” dan kamu terdiam cukup lama. “Kamu… udah punya pacar lain? Orang yang kamu sayangi melebihi aku?”

“Itu hal terkonyol yang kudengar tahun ini. sepertinya lebih mungkin kalau Jim Carrey benar-benar jadi Tuhan…” gurauku, sengaja menyinggung film yang kita tonton saat kencan pertama kita itu.

“Hahahaha.. Kamu masih ingat film itu juga, ya?” tentu saja, bagaimana bisa lupa jika aku terus menerus mengulang semua memori tentangmu setiap nano detik dari hidupku? “Nanti kita nonton itu lagi ya…”

Lagi-lagi kamu membuat aku terdiam.

Sungguh, bukannya aku tak mau melewatkan waktu bersamamu.

Tapi, cintaku, kekasih hidupku, waktulah yang tak lagi berpihak padaku.

* * *

Riad meremas-remas jarinya dengan resah. Ia merasa konyol sekali. Mengapa dadanya harus berdetak secepat ini hanya karena akan mengetuk pintu kos-an putrid di hadapannya? Namun sejak ia menginjakkan kakinya di Dago tadi, dadanya sudah berdebar tak karuan.

Bagaimana rupa Lira sekarang? Ia pasti masih secantik dan seanggun dulu. Apa tubuhnya masih menguarkan wangi mawar yang segar, seperti yang selalu Riad ingat? Apa tawanya masih semerdu denting harpa seperti yang terakhir kali Riad dengar? Apa senyumannya masih secerah mentari? Apa dia masih suka berdebat dengan topik-topik yang menggelitik?

Apa dia akan mengomentari penampilan Riad yang sekarang? Apa Lira akan keberatan? Karena Riad sudah meninggalkan mode rambut cepak kesukaan Lira? Karena sekarang kulitnya cokelat karena ia sering berlari di bawah terik matahari? Karena saat ini ia tengah bekerja sebagai atlit daripada dokter, profesi yang awalnya ia pilih??

Namun Riad tahu itu semua tak akan terjadi.

Lira mencintai Riad karena Riad adalah Riad. Ia selalu memberitahu Riad bahwa Lira mencintai kejujuran Riad, cara Riad membuatnya tertawa, cara Riad tersenyum dan menatap saat Lira ada di hadapannya, dan cara Riad mencintai Lira.

Lira tak akan keberatan, karena semua hal yang membuat Lira mencintai Riad tak pernah berubah. Tak akan pernah berubah. Walaupun waktu terus menyelusup diantara mereka berdua.

Walaupun 3 tahun sudah membawa jaman bersamanya.

Rian berusaha menegur dirinya sendiri. Ia menegakkan bahunya dan melangkah masuk ke dalam pekarangan rumah kos-an yang ditunjuk menjadi alamat Lira saat ini.

“Aku datang…” bisik Riad, dipenuhi senyuman.

* * *

Aku tak akan menangis.

Karena aku tak bisa lagi menangis.

Karena air mataku sudah mengering, dan mataku sudah memutih.

Dan karena tiga tahun adalah waktu yang panjang untuk terus menangisimu.

Aku bisa membayangkan wajahmu. Aku bisa membayangkan apa yang akan kau katakan padaku. Aku bisa menebak apa yang akan kau teriakkan padaku. Aku bisa menebak berapa lama kau akan menangis dan membenci diriku.

Dan aku selalu tahu, sampai berapa lama sisa ruang yang paling besar di hatimu, bagian hatimu untukku, akan selalu ada bagiku.

* * *

“Siapa ya?”

Riad merasa bodoh karena mengharap bahwa Lira yang akan membuka pintu itu pertama kali. Tentu saja, ini kan rumah kos-an. Tidak heran jika orang lain yang membuka pintu untuk Riad. Tidak heran bila tidak ada yang mengenal Riad.

“Selamat pagi. Saya mencari Lira Hirania…”

Gadis yang membukakan pintu itu mengerutkan keningnya.

“Mas ini siapanya Lira?”

“Ehmm… temannya, dari Medan.” Riad mengutuki mengapa ia tak langsung mengatakan bahwa dia ini pacarnya.

“Mas nggak tahu, apa? Mbak Lira itu kan…” si gadis menghela nafas sesaat. “sudah meninggal dua tahun yang lalu?”

Riad merasa informasi ini mental dari otaknya.

“Apa?”

“iya. Mbak Lira sakit, kanker usus. Mbak Lira dimakamkan di tanah ibunya, agak dekat sini, kok. Mas belum tahu??”

“Nggak mungkin!! Baru kemarin dia menelfon saya!” Riad mengeluarkan handphone-nya, berusaha menunjukkan bukti bahwa ia dan Lira memang menjalin komunikasi. Berusaha membuktikan bahwa mustahil Lira telah meninggal.

Namun dunia runtuh di hadapan Riad saat ia menyadari bahwa tak ada data apapun yang menunjukkan bahwa ia dan Lira pernah menjalin komunikasi.

Yang hilang hanyalah data Lira. Data itu bagaikan memang tak pernah ada sebelumnya. Sama sekali tak berbekas.

“Tidak mungkin… Ini sama sekali tidak masuk akal!!!”

* * *

Maafkan aku.

Tak ada yang bisa menjelaskan padamu, bahkan padaku, bagaimana kita bisa berbicara satu sama lain, sementara kau bernafas, hidup, dan hangat disana, dan aku disini, hampir berupa tulang belulang.

Percayakah kamu bahwa cinta memang bisa menembus dan mewujudkan hal-hal yang mustahil terjadi? Percayakah kamu bahwa pembicaraan kita selama dua minggu ini memang tak nyata, secara logika?

Aku menatap ke kegelapan yang menyelimutiku, sahabat sejati untuk rentang waktu yang begitu lama.

Aku merindukanmu, Sungguh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar